Surfe.be - Layanan iklan spanduk

Pendapat Hukum (Bagian 1)

Oleh:
Dr. Hufron, S.H.,M.H.
(Dosen Tetap FH Untag Surabaya)
(Managing Director pada Kantor Advokat: “HUFRON  & RUBAIE”)
(Chief of Executive Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Publik “NOMOKRASI”)

I. KASUS POSISI
  • Dimulai sejak  tanggal 2 Maret 2015, perusahaan melakukan audit terhadap Bank  - - - - - - - - - - - Kantor Cabang Utama (KCU) dan seluruh Kantor Cabang Pembantu (KCP). Dari hasil audit tersebut kemudian ditemukan 2 (dua) pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pekerja di KCP - - - - - - yang menjabat sebagai Customer Service bernama  Mr. X.
  • Adapun 2 (dua) temuan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Mr. X adalah pertama, adanya transfer dana nasabah ke rekening Mr. X senilai Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). Aliran/transfer dana tersebut didapatkan dari perantara pembelian ruko untuk relokasi KCP - - - - - -. Kedua, berdasarkan dokumen keluhan nasabah tanggal 9 Desember 2014, terdapat pemungutan uang tunai biaya adminsitrasi rekening kepada nasabah.
  • 2 (dua) temuan pelanggaran tersebut didasarkan pada alat-alat bukti berupa: (1) form keluhan nasabah, (2) rekaman CCTV, (3) laporan transaksi di counter, (4) konfirmasi kepada nasabah atas transaksi dari pihak perantara kepada Mr. X, (5) laporan hasil audit, dan (6) pengakuan dari Mr. X.
  • Untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Mr. X tersebut, pada hari jumat, tanggal 12 Juni 2015 pukul 13.30 WIB bertempat di KCU, perusahaan dalam hal ini BANK  - - - - - mengadakan pertemuan bipartit untuk penyampaian maksud penjatuhan sanksi PHK. Adapun hasil dari pertemuan bipartit adalah kedua belah pihak sepaham dengan maksud dan tujuan penyampaian disposisi Direksi yang kemudian perlu diadakan bipartit lanjutan dengan melampirkan bukti-bukti serta menghadirkan pihak audit.
  • Dengan merujuk pada hasil pertemuan bipartit awal, pada hari selasa, 19 Januari 2016 pukul 10.00 WIB bertempat di BANK  - - - - - Kanwil III gedung BANK  - - - - -  diadakan pertemuan bipartit lanjutan yang dihadiri oleh 5 (lima) orang dari pihak perusahaan dan 14 (empat belas) orang dari pihak serikat pekerja untuk membahas penyelesaian penjatuhan sanksi terhadap Mr. X. Dalam pertemuan tersebut disebutkan bahwa Mr. X telah melakukan pemungutan biaya kepada nasabah untuk biaya administrasi pengurusan rekening sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah) dan telah menerima uang tunai via transfer senilai Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dari perantara dalam pembelian ruko untuk relokasi KCP - - - - - - sehingga pihak perusahaan menilai Mr. X telah melanggar ketentuan Pasal 58 ayat (1) huruf b, f, g Juncto Pasal 59 ayat (1) huruf a, h, p Perjanjian Kerja Bersama (PKB) BANK  - - - - - tahun 2014-2016 Juncto Lampiran VIII Pedoman Sanksi nomor 4 dan 5.
  • Dalam pertemuan bipartit lanjutan, pihak perusahaan berpendapat, oleh karena Mr. X telah melanggar ketentuan sebagaimana diuraikan di atas, maka penjatuhan sanksi yang tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
II. PERTANYAAN HUKUM
Berdasarkan paparan pada KASUS POSISI di atas, dapat diajukan pertanyaan hukum sebagai berikut:
“Apakah penjatuhan sanksi berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Mr. X oleh pihak perusahaan sah menurut hukum".
III. DASAR HUKUM
  • Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  • Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003
  • Peraturan Kerja Bersama (PKB) Bank  - - - - -  (BANK  - - - - -) Tahun 2014-2016; dan
  • Lampiran VIII Pedoman Sanksi
IV. ANALISA HUKUM
Untuk menjawab pertanyaan hukum di atas, terlebih dahulu diajukan pertanyaan apakah Mr. X dapat dijatuhi sanksi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)? Berbicara mengenai dapat atau tidaknya penjatuhan sanksi PHK terhadap Mr. X maka, tidak dapat dilepaskan dari syarat atau alasan yang dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi PHK. Adapun syarat atau alasan yang dapat digunakan sebagai dasar penjatuhan sanksi PHK diatur dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi.
“Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
  • melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
  • memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
  • mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
  • melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
  • menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
  • membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
  • dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
  • dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
  • membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
  • melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih".
Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa terhadap pekerja/buruh dapat dikenakan sanksi PHK apabila telah melakukan pelanggaran berat. Mengenai kasus Mr. X, ia diduga melakukan tindakan yang melanggar ketentuan Pasal 58 ayat (1) huruf b, f, g Juncto Pasal 59 ayat (1) huruf a, h, p Peraturan Kerja Bersama (PKB). Bahkan jika ditelaah lebih jauh, patut diduga pula bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Mr. X merupakan penggelapan dalam jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 374 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencaharian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun".
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 374 KUHP di atas, secara teoritis disebut penggepalan dengan pemberatan, oleh karena terdapat hubungan pekerjaan (persoonlijke dienstbetrekking). Adapun unsur-unsur penggelapan dalam jabatan adalah (1) barangsiapa atau setiap orang (2) dengan sengaja memiliki barang dengan tanpa hak (3) yang diketahui sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain (4) barang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (5) oleh orang yang mempunyai hubungan kerja atau pencaharian atau mendapat upah.
Unsur pertama, Setiap orang adalah subjek hukum, dalam konteks kasus ini, Mr. X adalah subjek hukum yang cakap menurut hukum;

Unsur pertama, Setiap orang adalah subjek hukum, dalam konteks kasus ini, Mr. X adalah subjek hukum yang cakap menurut hukum;
Unsur kedua, dengan adanya pemungutan secara tunai terhadap nasabah maka berarti Mr. X telah sengaja dengan maksud untuk menguasai/memiliki uang tunai yang dipungut dari nasabah, di mana uang tersebut merupakan uang perusahaan yang seharusnya dipungut dengan auto debet;
Unsur ketiga, uang senilai Rp. 15.000,- yang semestinya adalah milik BANK  - - - - - kemudian karena jabatannya oleh Mr. X tidak diberikan kepada BANK  - - - - - melainkan diambil menjadi uang milik pribadi;
Unsur keempat, pengambilan uang menjadi milik pribadi oleh Mr. X tidak dilakukan dengan cara kekerasan maupun pengancaman, tetapi dilakukan dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang ada padanya;
Unsur kelima, Mr. X adalah orang yang memiliki hubungan pekerjaan sebagai customer service di BANK  - - - - - KCP - - - - - - dan mendapatkan upah/gaji untuk pekerjaan itu.
Dengan demikian, kelima unsur penggelapan dalam Pasal 374 KUHP tersebut telah terpenuhi sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf a dan huruf j, maka pengusaha atau pihak perusahaan dapat menjatuhkan sanksi PHK, karena telah melakukan pelanggaran berat. Hal ini juga ditegaskan dalam Lampiran VIII tentang Pedoman Sanksi nomor 4 bahwa pelanggaran seperti yang dilakukan oleh Mr. X dapat dijatuhkan sanksi berupa pemberhentian.

Selanjutnya, terkait dengan sah atau tidaknya penjatuhan sanksi PHK terhadap Mr. X maka harus diulas terlebih dahulu mengenai prosedur penjatuhan PHK yang harus dilalui oleh pengusaha atau pihak perusahaan. Prosedur penjatuhan PHK diatur dalam Pasal 151 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut:
(1)  Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2)  Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3)  Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Namun demikian, prosedur di atas tidak berlaku bagi kasus Mr. X, ketentuan yang lebih tepat untuk diterapkan dalam kasus tersebut adalah Pasal 158 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih lengkap ketentuan tersebut berbunyi:
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
(1) (a). melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; (b). memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; (c). mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; (d). melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; (e). menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; (f). membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (g). dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; (h). dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; (i). membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau (j). melakukan perbuatan lainnya di lingkungan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut; (a). pekerja/buruh tertangkap tangan; (b). ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau (c). bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan ketentuan di atas, pengusaha/pihak perusahaan dapat menjatuhkan sanksi PHK kepada Mr. X tanpa melalui proses penetapan pengadilan oleh karena telah terdapat cukup alat bukti yang salah satunya berupa pengakuan Mr. X bahwa benar telah melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 Oktober 2004 memberikan Putusan Nomor 012/PUU-I/2003 atas pengujian Pasal 158 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang amar (diktum) nya menyatakan bahwa “ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditionally inconstitutional) PHK dapat dilakukan.
-Setelah ada putusan hakim pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje); dan
-Apabila pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.”
Dengan demikian, akibat putusan Mahkamah Konstitusi diatas, maka pengusaha/pihak perusahaan hanya dapat menjatuhkan sanksi PHK terhadap pekerja/buruh setelah ada putusan hakim pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje). Berkaitan dengan penjatuhan sanksi terhadap Mr. X, pengusaha/pihak perusahaan belum melaporkan Mr. X ke pihak kepolisian sebagai langkah awal proses pidana dijalankan. Sehingga, penjatuhan sanksi PHK terhadap Mr. X dapat dianggap terlalu dini (prematur), oleh karena tidak adanya putusan pidana berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje) yang menyatakan Mr. X terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan sebagaimana dituduhkan. Kendatipun, pengusaha/pihak perusahaan memiliki 6 (enam) alat bukti termasuk pengakuan Mr. X, tetapi alat bukti tersebut tidak dapat serta merta berlaku sebagai dasar untuk meyatakan Mr. X bersalah sebelum seluruh alat bukti tersebut diuji melalui proses peradilan pidana.
Jadi, penjatuhan sanksi PHK terhadap Mr. X tidak sah menurut hukum oleh karena prosedur dalam penjatuhan sanksi tersebut tidak sesuai prosedur yang ditetapkan menurut hukum. Karenanya, dengan merujuk pada ketentuan Pasal 159 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka atas penjatuhan sanksi PHK tersebut Mr. X dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
V. KESIMPULAN
a.    Pada dasarnya, pengusaha/pihak perusahaan dapat menjatuhkan sanksi PHK terhadap Mr. X atas dasar telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan Pasal 374 KUHP Juncto Pasal 58 ayat (1) huruf b, f, g Juncto Pasal 59 ayat (1) huruf a, h, p Perjanjian Kerja Bersama. Selanjutnya, oleh karena tindakan Mr. X tersebut termasuk dalam kategori pelanggaran berat, maka dengan merujuk pada ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf a dan j Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Juncto Lampiran VIII tentang Pedoman Sanksi Nomor 4 dapat dijatuhkan sanksi PHK tanpa penetapan pengadilan. Namun sejak dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012/PUU-I/2003, penjatuhan sanksi PHK karena melakukan kesalahan berat berupa tindak pidana, harus didahului adanya putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje).
b. Bahwa oleh karena penjatuhan sanksi PHK terhadap Mr. X tidak berdasarkan prosedur yang ditentukan Pasal 158 ayat (1) juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012/PUU-I/2003, maka secara normatif tidak sah menurut hukum.
VI. REKOMENDASI
Seharusnya pengusahan/pihak perusahaan melakukan proses hukum secara pidana terlebih dahulu sebelum menjatuhkan sanksi PHK, dengan cara pengusaha/pihak perusahaan melaporkan Mr. X kepada kepolisian sebagai langkah awal proses pidana dijalankan. Karena, untuk menjatuhkan sanksi PHK terhadap Mr. X, terlebih dahulu harus ada putusan hakim pidana berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje) yang menyatakan bahwa Mr. X terbukti bersalah telah melakukan penggelapan dan penyalahgunaan wewenang.
VII. PENUTUP
a.    Penyusunan Pendapat Hukum ini dilakukan atas dasar dokumen hukum, keterangan atau informasi yang diberikan kepada kami;
b.    Pendapat Hukum ini kami buat berdasarkan kaidah hukum Indonesia yang relevan dan berlaku pada saat Pendapat Hukum ini disusun;
c.    Pendapat Hukum ini dibuat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.


Surabaya, 27 Mei 2016

Ttd.

Kantor Hukum HUFRON & RUBAIE

Sumber:
Dr. Hufron, S.H.,M.H. (materi hand out disampaikan pada acara PKPA sesi 2 dan 3 bersama Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Unsuri Surabaya di gedung perkuliahan Pasca Sarjana Unsuri Surabaya pada tanggal 13 Oktober 2018

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendapat Hukum (Bagian 1)"

Posting Komentar

Mohon komentar yang baik untuk keharmonisan bersama