Studi Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam
Indonesia muslim | pixabay.com |
Studi kali ini berkaitan dengan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Sehingga di dalamnya secara umum membahas tentang ahli waris, Kompilasi Hukum Islam atau dikenal dengan KHI, dan sumber referensi, serta ahli waris pengganti.
Ahli waris pengganti sering menjadi persoalan tersendiri ketika seseorang telah meninggal dunia bagi ahli waris yang ditinggalkan oleh pewaris. Hal tersebut karena dalam prinsip waris pada dasarnya adalah berdasarkan darah garis keturunan. Karenanya pembaharuan hukum Islam menjadi urgen dalam menyelesaikan sengketa waris di Indonesia.
Pembaruan hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum kewarisan, terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang didasarkan kepada hukum yang hidup (living law) sejak ratusan tahun yang lalu dipraktekkan secara sukarela dan memuaskan pihak-pihak yang melaksanakannya.
Ahmad Rofiq, (2001:132) dalam bukunya Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Publish di Yogyakarta melalui Gama Media, mengatakan bahwa KHI merupakan legislasi dari praktek-praktek hukum yang dilakukan umat Islam sejak masuknya Islam ke Indonesia.
James Norman Dalrymple Anderson, dalam tulisannya Islamic Law in the Modern World, dialih bahasakan oleh Machnun Husein, publish melalui Tiara Wacana, di Yogyakarta (1994:100-101), membagi tipologi pembaharuan hukum Islam di dunia Islam menjadi tiga bahwa. Pertama, tipologi yang masih mengakui syari’ah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara utuh. Kedua, sistem-sistem yang meninggalkan syari’ah dan menggantikannya dengan hukum yang sama sekali sekuler. Terakhir, tipologi yang mengkompromikan kedua pandangan (sistem) tersebut.
Departemen Agama RI, dalam buku Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Proyek Penyuluhan Hukum Agama, terbit di Jakarta pada tahun 1995/1996 halaman 327 bahwasannya, KHI dituangkan dalam bentuk Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991. Meskipun Instruksi Presiden tidak termasuk dalam susunan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Indonesia yang lebih dekat kepada Eropa Kontinental, dan KHI bukan aturan hukum setingkat peraturan perundang-undangan lainnya, tetapi kekuatannya tidak diragukan lagi. KHI telah menjadi kitab hukum sebagai rujukan para hakim pada peradilan agama dalam menyelesaikan perkara perkawinan, kewarisan dan wakaf, sehingga kekuatan KHI menjadi sumber hukum yurisprudensi.
Menurut Habiburrahman (2011:53) dengan judul Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cetakan 1 oleh Kencana di Jakarta pada tahun 2011), dikatakan “Gagasan penyusunan KHI dimulai pada tahun 1983, yaitu sejak penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI tentang penunjukan pelaksana proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, guna keseragaman dan menjadi rujukan para hakim pada pengadilan Agama. Panitia bekerja selama lebih kurang lima tahun, dan pada tahun 1988 rumusan KHI siap untuk diajukan kepada pemerintah dalam rangka proses menuju legalitas sebuah aturan hukum perundang-undangan.
Selama tiga tahun lebih dalam masa penantian menunggu tindak lanjut nasib rancangan aturan KHI tersebut, belum juga ada titik terangnya (Habiburrahman : 2011).
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991 (Nasution 2015).
Dalam konsideran Inpres tersebut diatas telah dinyatakan mengenai beberapa klausul materi hukum yang antaranya adalah ‘alim ulama Indonesia melalui lokakarya yang telah diadakan di Jakarta tepatnya pada tanggal 2 s/d 5 Februari tahun 1988 dimana telah menerima dengan baik 3 (tiga) rancangan buku Kompilasi Hukum Islam tersebut.
Isi ketiga buku tersebut Departemen Agama RI dalam buku Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama terbit di Jakarta melalui Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum pada tahun 2004 tepatnya halaman 303 disebutkan; “Buku I tentang hukum perkawinan, Buku II tentang hukum kewarisan dan Buku III tentang hukum perwakafan. Atas dasar itu pula kalangan masyarakat merespon KHI tersebut dengan penuh suka cita dan bangga karena merupakan buah karya alim ulama di Indonesia”.
Dengan hadirnya Kompilasi Hukum Islam setidaknya ada harapan baru bagi masyarakat dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Agama terutama tentang kewarisan. Banyak sengketa tentang kewarisan di Pengadilan Agama yang ada di Indonesia. Hukum kewarisan secara hubungan darah dapat diakukan dengan norma yang ada, namun akan menjadi persoalan ketika dihadapkan dengan ahli waris pengganti. Nah di sinilah Kompilasi Hukum Islam peranannya dalam mewarnai putusan Hakim secara berseragam dibutuhkan.
Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil dari perumusan hukum Islam di Indonesia dalam bidang Hukum Perkawinan dan Hukum kewarisan. Selama bertahun-tahun penelitian dan pengamatan dilakukan agar Indonesia mempunyai hukum yang mencerminkan ciri khas Indonesia, tetapi tidak menghilangkan substansi yang ada (Maylissabet and Abdillah 2019).
Studi Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan di Indonsia pada dasarnya sudah dikenal sejak zaman kerajaan, terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam yang sudah menerapkan hukum kewarisan di daerah masing-masing. Ketika masa penjajahan datang, Indonesia sudah melaksanakan hukum agama Islam, yang kemudian tetap dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya, terbukti mereka membuat aturan agar rakyat Indonesia tetap memakai hukum yang sudah berlaku dilingkunganya, hanya saja ketika datang Snouck Hourgranye yang mereka angkat sebagai konsultan hukum mereka, munculkan ide agar hukum Islam (kewrisan) direceptie (disesuaikan) dengan hukum adat (Fahimah 2018).
Sistem kewarisan berdasarkan kitab suci Al-Quran ialah sistem individual, dimana setelah pewaris wafat, harta peninggalannya dapat diadakan pembagian kepada para waris pria dan wanita sesuai haknya masing-masing (Hadikusumo 1991).
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 171 Huruf (a), yang dimaksud hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, dan berapa bagiannya masing-masing (Eka Sakti Habibullah 2019).
Menurut Hazairin, (1982:13), ada tiga macam sistem kewarisan, yaitu pertama sistem kewarisan individual, kolektif, mayorat (Eka Sakti Habibullah 2019).
Mohamad Daud Ali. (2011:73), Dalam kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam, kadang-kadang disebut dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam. Menurut Imam Syafi’i dalam kitab Al Risalah fi Ushul al-Fiqh sumber hukum Islam ada empat yaitu: 1) Al Qur’an; 2) As Sunnah atau Al Hadis; 3) Al Ijma’; dan (4) Al Qiyas (Eka Sakti Habibullah 2019).
Salah satu ilmu dalam Hukum Islam adalah Hukum Kewarisan (Hukum Waris). Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-masalah lain yang dihadapi manusia ada yang sudah dijelaskan dalam al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang konkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam (Maylissabet and Abdillah 2019).
Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka mempunyai hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun banyaknya menurut bagian yang ditetapkan untuknya dalam Syari’at Islam (Arto 2020).
Menurut Nur Mujib (2020), Hukum kewarisan bagi umat Islam Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu dalam Buku II KHI yang terdiri dari pasal 171 sampai dengan pasal 214.
Dalam pasal 171 KHI, ada beberapa ketentuan umum mengenai kewarisan ini, yaitu:
- Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
- Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
- Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
- Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
- Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
- Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
- Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
- Baitul Maal adalah balai harta keagamaan (Mujib 2020).
Dalam Kompilasi Hukum Islam tepatnya Pasal 171 Huruf e bahwa; “Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan perawatan selama sakit, sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiza), pembayaran hutang, pemberian untuk kerabat (Hadikusumo 1991).
Ahli Waris Pengganti Dalam KHI
Istilah ahli waris pengganti dalam bahasa Belanda disebut dengan plaatsvervulling. Penggantian tempat dalam hukum waris disebut dengan penggantian ahli waris, yaitu meninggal dunianya seseorang dengan meninggalkan cucu yang orangtuanya telah meninggal terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orangtuanya yang telah meninggal untuk mendapatkan warisan dari kakek atau neneknya. Besarnya bagian yang seharusnya diterima oleh cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya diterima orangtuanya jika mereka masih hidup. Istilah penggantian tempat ini hanya dikenal dalam hukum barat (BW) dan hukum adat namun tidak dikenal dalam hukum Islam (Kotabumi, PA n.d.).
Pewaris adalah orang yang saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan tersebut dilaksanakan pada saat menjelang kematian (Ali 2008).
Rumusan yang ada pada pasal 185 ayat 1 dengan menggunakan kalimat “dapat digantikan” menimbulkan ketidakpastian mengenai keberadaan ahli waris pengganti. Kata “dapat” tersebut mengandung pengertian cenderung tentatif sehingga bisa kemudian ditafsirkan ada ahli waris yang mungkin dapat digantikan dan juga ada yang mungkin tidak dapat digantikan keberadaannya.
Sifat tentatif-nya pasal 185 ini menurut Raihan A. Rasyid justeru merupakan pengaturan yang tepat sekali, sebab tujuan dimasukkannya penggatian ahli waris dalam KHI karena melihat kenyataan dalam beberapa kasus, adanya rasa kasihan terhadap cucu pewaris. Artinya penerapan ketentuan penggantian ahli waris ini bersifat kasuistis, sehingga fungsi hakim sangat menentukan dalam menetapkan dapat digantikan atau tidak dapat digantikannya ahli waris (Kotabumi, PA n.d.).
Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam (KHI), hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia diberiakan kepada keturunannya yang masih hidup.
Pasal 185 KHI tersebut pada ayat 1) dan 2) selengkapnya adalah sebagai berikut :
- Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
- Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Adapun Pasal 173 sebagaimana tersebut pada ayat 1) dalam Pasal 185 KHI diatas selegkapnya adalah sebagai berikut;
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a). dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b). dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Mahkamah Agung, dalam hal ini Kamar Agama, telah memberikan pedoman berdasarkan Rakernas tahun 2010 di Balikpapan, bahwa ahli waris pengganti hanya dibatasi sampai derajat cucu, yang kemudian dituangkan dalam SEMA No. 3 Tahun 2015 dengan tambahan ketentuan bahwa jika pewaris tidak memiliki anak, tetapi memiliki saudara kandung yang meninggal lebih dahulu, maka anak laki-laki dari saudara kandung sebagai ahli waris, sedangkan anak perempuan dari saudara kandung diberikan bagian dengan wasiat wajibah. Namun demikian, dalam praktik di pengadilan masih terdapat keragaman dalam penerapan ketentuan hukum terkait ahli waris pengganti (Wahyudi 2020).
Sebagaimana tersebut dalam hal ahli waris pengganti, Raihan A. Rasyid (1995:63), bahwa penggantian ahli waris hanya diberlakukan dalam garis lurus ke bawah, itupun jika ahli warisnya hanya antara anak dan cucu, sementara pemberlakuan yang lebih luas ke garis menyamping dapat diberlakukan dengan syarat mendapat persetujuan dari ahli waris lain yang akan berkurang bagiannya (Wahyudi 2020).
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa aturan-aturan yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam baik yang mengatur tentang perkawinan, warisan, atau wakaf adalah aturan-aturan yang memuat poin-poin pokok saja. Kompilasi Hukum Islam tidak memuat aturan secara rinci dan detail sebagaimana dibahas oleh para ulama dalam berbagai kitab fiqih. Termasuk dalam hal ini ketika Kompilasi Hukum Islam menyampaikan Pasal 185 yang mengatur tentang ahli waris pengganti. Di dalamnya hanya memuat garis besar dan aturan pokoknya saja tanpa disertai dengan penjelasan yang lebih rinci (Muttaqin 2021).
Termasuk dalam hal ini ketika Kompilasi Hukum Islam menyampaikan Pasal 185 yang mengatur tentang ahli waris pengganti. Di dalamnya hanya memuat garis besar dan aturan pokoknya saja tanpa disertai dengan penjelasan yang lebih rinci (Muttaqin 2021).
Ini menjadikan pembacanya yang awam fiqih mengambil pemahaman dan kesimpulan yang tidak utuh. Ia hanya memahami bagian terluarnya saja tanpa tahu bagian dalamnya yang sangat rinci dan detail.
Dengan demikian maka anak yang meninggal lebih dahulu dari orang tuanya, ketika orang tuanya meninggal dunia, sebagai ahli waris, maka anak yang meninggal lebih dahulu itu dapat digantikan oleh anaknya dalam menerima warisan orang tuanya. Tidak lagi seperti yang terjadi selama ini, yaitu cucu yang ditinggal mati oleh orang tuanya, ketika kakek neneknya meninggal dunia, maka cucu itu tidak mendapat bagian warisan dari harta kakek neneknya, karena dianggap telah putus waris (Mujib, Putus Waris 2019).
Dalam KHI ini cucu yang ditinggal mati orang tuanya terlebih dahulu tidak mendapat bagian warisan dari kakek neneknya kalau cucu itu telah melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 173 KHI. Yaitu a). dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris. b). dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat (Mujib, Putus Waris 2019).
Bila kita pelajari lebih lanjut di dalam kitab-kitab fiqih, pembagian warisan bagi masing-masing ahli waris memiliki ketentuan yang cukup banyak dan terperinci. Ketentuan-ketentuan ini harus diperhatikan secara cermat agar tidak terjadi kesalahan dalam pembagian warisan (Muttaqin 2021).
Mengenai pembagian warisan bagi masing-masing ahli waris Yazid Muttaqin mengambil sebagian contoh penjabaran yang ditulis Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin wa ‘umdatu al-Muftin terbit di Beirut oleh Al Maktab Al Islami tahun 1991 pada juz 6 halaman 13 sebagai berikut;
Apabila berkumpul anak-anak kandung dan para cucu dari anak laki-laki atau dari para anak laki-laki, maka bila di antara para anak kandung itu ada yang laki-laki maka para cucu dari anak laki-laki itu tidak mendapatkan warisan. Namun bila di antara anak kandung itu tidak ada anak laki-lakinya, maka bila anak kandung itu satu orang anak perempuan ia mendapatkan bagian setengah. Kemudian dilihat, bila cucu dari anak laki-laki itu satu orang laki-laki maka sisa harta waris diberikan (semua) kepadanya. Bila cucu dari anak laki-laki itu berupa beberapa orang laki-laki, atau laki-laki dan perempuan maka sisa harta waris dibagi di antara mereka di mana laki-laki mendapat dua bagian perempuan. Bila cucu dari anak laki-laki berupa satu orang perempuan maka ia mendapat bagian seperenam. Bila cucu dari anak laki-laki itu berupa beberapa orang perempuan maka bagian seperenam itu dibagi di antara mereka. Sedangkan bila anak kandung (si mayit) berupa dua orang perempuan atau lebih maka mereka mendapatkan bagian dua per tiga dan tidak ada bagian sedikitpun bagi para cucu perempuan dari anak laki-laki.
References
0 Response to "Studi Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam"
Posting Komentar
Mohon komentar yang baik untuk keharmonisan bersama